Peristiwa Isra’ dan Mi’raj, membuahkan kewajiban shalat, sebagai satu- satunya ibadah dalam Islam, yang khusus dijemput langsung oleh Nabi Muhammad Saw ke Sidratul Muntaha. Peristiwa dahsyat yang ghairu ma’qul (tidak bisa dilogikakan) ini terjadi bertepatan dengan tanggal 27 bulan Rajab. Tidak bisa dilogikakan, artinya adalah bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, sesuatu yang tidak bisa dicernai lewat akal.
Betapa tidak, begitu jauhnya perjalanan Nabi Muhammad dalam peristiwa ini, mulai Isra’ (perjalanan malam hari) dari masjid Haram di Makkah menuju rute Baitul Maqdis di Palestina, terus Mi’raj (naik) ke langit tinggi (yang tidak bisa dihitung mil-nya), menuju Sidratul Muntaha, hanya beliau tempuh tidak lebih dari waktu 2/3 malam atau sekitar 8 jam.
Dengan peristiwa yang luar biasa ini, orang yang mendurhakai Nabi Muhammad akan bertambah kedurhakaannya, tetapi bagi yang beriman, akan lebih bertambah keimanannya, karena terlihat, begitu Maha Berkuasanya Allah dalam memperjalankan hamba-Nya di malam hari dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini. Karena Nabi Muhammad bukan berjalan sendiri, tetapi diperjalankan Allah SWT (QS. Bani Israil :1).
Peristiwa sejarah yang hampir setiap tahun diperingati oleh umat Islam, sebaiknya dijadikan momentum dalam rangka revitalisasi (pengokohan) iman dan semangat beribadah, terutama dalam menegakkan ibadah shalat. Mulai dari komitmen pendirian ibadah ini, sampai kepada menghayati dan menggali potensi yang terkandung dalam ibadah yang sangat potensial ini.
Shalat adalah ibadah pembeda antara posisi orang mukmin dengan orang kafir. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim nabi mengatakan : “Batas antara seseorang dengan kekafiran, adalah meninggalkan shalat”. Siapa yang meninggalkan ibadah shalat, berarti ia memasuki zona kekafiran. Dalam hadits lain riwayat Bukhari-Muslim, nabipun berkata : “ Siapa yang meninggalkan ibadah shalat dengan sengaja (tanpa alasan yang dibolehkan agama/ syara’), maka ia telah menjadi kafir”.
Pada sisi lain, dari pelaksanaan ibadah shalatpun., terpaut tegak dan hancurnya konstruksi agama (al-Diin). Hal ini dinyatakan nabi Muhmmad SAW dalam hadits shahihnya : “siapa yang mendirikan shalat, berarti ia menegakkan agama, dan siapa yang meninggalkan shalat, berarti ia menghacurkan agama”. (HR. Bukhari-Muslim).
Dengan kalkulasi, sekiranya jumlah umat Islam di Indonesia ada sekitar 200 juta, bila hanya 100 juta yang disiplin shalat lima waktu, yang 100 juta lagi tidak melaksanakan, berarti di negara kita keadaan umat Islam antara yang menegakkan agama dengan yang meruntuhnya, berimbang. Bagaikan tarik tambang, susah untuk tegaknya agama, begitu juga runtuhnya, tetapi stagnan.
Menurut pemahman sufi, meninggalkan shalat memiliki dua makna : Pertama; meninggalkan shalat secara syari’at, artinya tidak mengerjakan aktivitas shalat secara lahir dengan syarat dan rukunnya, yang dilakukan dengan ucapan, perbuatan, sikap dan gerak lahir, yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Kedua; meninggalkan shalat secara hakikat/batin dari shalat itu. Dalam shalat itu, ia tidak memahami siapa yang disembah (ma’bud) dan siapa pula yang menyembah (‘abid). Ia tidak memahami bagaimana niat dan i’tikad tauhid ditujukan, serta ia tidak memahami ke mana tujuan dan maksud tauhid disandarkan, dalam setiap gerak dan sikap dalam shalat itu.
Dari kenyataan sebelumnya, sering dijumpai banyak orang mendirikan ibadah shalat sampai usia lanjut, namun mereka tidak memperoleh kenikmatan dalam perjumpaan dengan Tuhannya, serta tidak mengalami perubahan dalam eksistensi diri. Contoh dalam hal ini ialah tidak hadirnya potensi untuk menangkap dan memahami pesan-pesan ketuhanan dalam setiap peristiwa di bumi ini, tidak hadirnya rasa takut untuk meninggalkan perintah Ilahi dan melanggar larangan-Nya, sesuai dengan potensi shalat itu sendiri, sebagai pencegah berbuat keji dan mungkar (QS. Al-angkabut : 45).
Tidak hadirnya juga, kesehatan dan kecerdasan profetik (kenabian)—yang disebut dengan prophetic intelligence--yang terimplementasi pada peningkatan etos kerja dan kinerja kekhalifahannya di muka bumi. Sering seseorang terjebak dalam lingkaran rutinitas dalam shalatnya, tanpa mau berusaha menggali potensi dan makna yang terkandung di dalamnya.
Secara jujur dapat dikatakan, bahwa sering terjadi pada diri seseorang muslim, dimana antara aqidah yang diyakinkannya (tauhid), begitupun ibadah yang ditekuninya, seolah-olah tidak nyambung sama sekali dengan realitas kehidupan kesehariannya. Persoalan seperti ini juga meresahkan pikiran Cucu Magek Dirih/Sutan Zaili Asril, dari berbagai tulisannya di koran ini. Agama terkadang hanya sebatas ritual dan upacara seremonial, tidak melantun ke kehidupan nyata.
Seolah-olah agama tidak ada kaitannya dengan persoalan ekonomi, tidak ada kaitannya dengan persoalan kemiskinan dan keterbelakangan. Agama dengan taushiyahnya terkadang hanya sebatas mimbar, sehingga tidak ikut meretas dan merajuk rona kehidupan.
Dalam ibadah shalat, sering kering dalam penggalian potensinya. Makna shalat hanya selingkar sajadah (tikar shalat), tanpa ada imbas sama sekali dalam kehidupan yang lebih luas. Seseorang itu barangkali sudah merasa puas dengan pahala dari ibadahnya, tanpa harus berpikir dan menggali lagi potensi ibadah itu, dalam pembentukan kehidupan yang lebih baik.
Sebagai contoh, pada shalat berjema’ah begitu patuhnya seseorang dalam mengikuti gerak imam dalam shalat, akan tetapi kipatuhan kepada imam dalam shalat ini, tidak berimbas kepada kepatuhan kepada pemimpin di luar shalat. Seharusnya, kepatuhan kepada imam di dalam shalat, harus berimbas kepada kepatuhan kepada pemimpin di luar shalat, selagi pemimpin itu berjalan pada yang benar. Ironis memang, bila ada masyarakat yang baru selesai shalat berjema’ah, kemudian langsung ramai-ramai mendemo ketua RW-nya yang kesalahannya belum jelas.
Justru itu, dalam memperingati Isra’ dan Mi’raj ini, sebaiknya dijadikan momentum untuk lebih dapat menggali potensi ibadah yang dilakukan, terutama ibadah shalat. Ibadah shalat memiliki potensi besar dalam membentuk seseorang menjadi insan paripurna (insan kamil). Shalat yang khusu’ (konsentrasi), berpotensi mengantarkan seseorang menjadi orang yang beruntung, minimal keuntungan rohani(QS. Al-Mu’minun : 1-2), terhindar dari kegelisahan jiwa yang akan membuat hidupnya tenang (QS. Al-Ma’arij : 19-23).
Begitupun dengan shalat yang benar, akan melahirkan sifat rendah hati pada diri seseorang. Di dalam gerak shalat, 8 buah tulang persendiannya tercecah ke bumi Allah dalam sujud. Sekalipun dahi letaknya tinggi, ibu jari kaki letaknya di bawah, namun sewaktu sujud kepada Allah, ia sejajar. Ini akan menghasilkan makna, bahwa ia betul-betul tidak ada artinya di hadapan Khaliq dan dengan sendirinya ia tidak akan bersifat sombong kepada sesama.
No comments:
Post a Comment