Monday, 6 June 2011

Bahasa Palembang (Melayu,Jawa)

Bahaso Palembang Alus (Halus,red) hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, identitas Palembang sebagai kolaborasi dua kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. 
Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu/Sriwijaya) pada masa lalu adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.


Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan:
Al kisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama Raja Sulan yang punya dua putra, Alim dan Mufti. Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru.
Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti. Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putera Sultan Alim dari kedudukannya sebagai Sultan di Bukit Siguntang.
Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta seluruh rakyat dan pasukannya meninggalkan  Bukit Siguntang menuju Indragri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan ujung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama Pagaruyung (Padang, Sumatera Barat).
Setelah Sultan Mutfi wafat, ia digantikan oleh puteranya dengan pusat pemerintah di Lebar Daun bergelar Demang Lebar Daun hingga tujuh turun lebih. Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar Raja Bungsu.
Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, di negeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/Brawijaya sampai tujuh turun pula. Brawijaya yang terakhir memiliki putera bernama Aria Damar atau Aria Dilah dikirim ke tanah asal nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan keturunan Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445-1486).
Ia juga mendapat kiriman seorang putri Cina yang sedang hamil, yakni isteri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang puteri ini melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Fatah atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak.
Pada saat Raden Fatah menjadi raja Demak (1478-1518), ia berhasil memperbesar kekuasaannya dan menjadikan Demak kerajaan Islam pertama di Jawa. Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, Setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang.
Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang. Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang dikepalai oleh Ki Sedo Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lama (1 Ilir) yang saat itu Palembang di bawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun. Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan masjid di Candi Laras (PUSRI sekarang).
Pengganti Pangeran Sedo Ing Lautan adalah anaknya, Ki Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat diganti oleh Kemas Anom Adipati/Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1590). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamuluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630), kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat III Sedo Ing Puro (1630-1639), Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan (1639-1950), Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Peserean (1651-1652), Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sedo Ing Rejek (1652-1659), Sultan Jamaluddin VII Susuhunan Abdurrahman Candi Walang (1659-1706), Sultan Muhammad Mansur (1706-1714), Sultan Agung Komaruddin (1714-1724), Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1757), dst.
Pada abad ke 16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria Kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negara Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa tahun 1659-1706.
Dengan demikian Islam telah menjadi agama di Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang pada tahun 1823.
Dengan demikian jelaslah bahwa sejarah melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang paling tidak masih dapat kita lihat seperti sekarang ini antara lain: Rumah Limas, Pakaian Adat, dan Bahasa.
Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawa dan diucapkan menurut logat/dialek wong Palembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, Cina, Portugis, Iggris dan Belanda. Sedangkan Aksara bahasa Melayu Palembang, menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulusan Arab berbahasa Melayu (Arab Gundul/Pegon).***
Bebaso baiknya dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari sebab di dalamnya terdapat norma, adab dan sopan santun. Penyampaiannya sopan dan halus, nada suaranya tidak tinggi, lambat, serta dengan sikap merendah.

Contoh Bahasa Palembang Pasaran (P) dan Bebaso (B):
P: Mang Cek, Aku ni nak betanyo, di manola ruma Cek Awang?
B: Mang Cek, Kulo niki ayun betaken, di pundila rompok Cek Awang?
(Paman, saya ini mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?)
P: O, idak jao, parak ruma aku. Itula ruma Cek Awang.
B: O, nano tebe, pangge rompok kulo. Nikula rompok CekAwang.
(O, tidak jauh, dekat rumah saya. Di situlah rumah Pak Awang).

***disadur dari sebuah tulisan Kms H Andi Syarifuddin, SAg di harian Sripo***

No comments:

Post a Comment